Laporan Pendidikan Swasta di Lembaga Ombudsman Swasta DIY; Refleksi dunia pendidikan swasta, antara dibutuhkan dan terabaikan
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan kehidupan masyarakat serta berperan untuk meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan
sangat
penting
karena merupakan dasar untuk
pengembangan pola
berpikir konstruktif dan
kreatif.
Dengan pendidikan yang cukup
memadai, maka seseorang
akan bisa berkembang secara optimal baik secara ekonomi maupun sosial. Pendidikan itu sendiri dapat dipandang dari arti luas
dan
arti teknis, atau dalam arti hasil dan dalam arti proses. Dalam arti yang luas pendidikan menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai
pengaruh yang berhubungan dengan
pertumbuhan
atau
perkembangan jiwa, watak, atau kemampuan fisik individu. (Kneller 1967 : 63 dalam Dwi Siswoyo
2008 : 17)
Sekolah sebagai pintu
masuk peradaban memiliki tugas penting untuk mencerdaskan anak bangsa. Amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat
(1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan ayat
(2) menyatakan “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.” Dari pernyataan tersebut telah jelas menyatakan
bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan dan
memfasilitasi pendidikan bagi warga negara Indonesia. Namun demikian pengelolaan
pendidikan tidak cukup (mampu) diselenggarakan hanya oleh pemerintah.
Sejarah menunjukkan
bahwa penyelenggaraan pendidikan pada masa penjajahan oleh pribumi menjadi
embrio munculnya sekolah swasta. Pendidikan yang diselenggarakan swasta saat
itu (organisasi agama, perkumpulan usaha pribumi, dan sebagainya) sebagai
sarana mencerdaskan mampu mengikis kesenjangan antara golongan priyayi dengan
rakyat biasa yang tidak dapat mengakses sekolah umum.
Pendidikan yang
diselenggarakan swasta tidak bisa sepenuhnya bebas masalah. Banyak faktor
pendukung yang kurang menyebabkan penyelenggaraan pendidikan oleh swasta
memiliki lebih banyak masalah dibandingkan dengan sekolah negeri. Untuk
menemukan solusi atas permasalahan ini tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada
para pelaku
dunia pendidikan, dalam hal ini secara garis besar antara pemerintah dan
swasta. Perlu pihak ketiga sebagai pihak yang menjembatani antara pemerintah
dengan swasta terkait pengelolaan pendidikan.
Masalah pendidikan saat
ini yang lebih sering muncul antara lain pengelolaan sekolah yang di rasa belum
sepenuhnya profesional, kesenjangan antara sekolah swasta dan negeri dan
kesejahteraan guru swasta yang masih jauh dari upah (minimum regional),
sehingga upah antara buruh dengan guru bisa jadi lebih besar buruh. Dalam hal
ini tidak bermaksud mengabaikan peran buruh karena keduanya sama-sama bekerja
dan berkarya. Namun guru yang memiliki tugas mulia untuk mengajar dan mendidik
merupakan agen perubahan, agen transfer ilmu pengetahuan sehingga untuk itu
perlu penghargaan yang layak.
Idiom guru merupakan
pahlawan tanpa tanda jasa yang dahulu sering kita dengarkan, sekarang seolah
menghilang. Karena di satu sisi, kesejahteraan guru yang sudah diangkat menjadi
Pegawai Negeri Sipil sudah sangat layak, apalagi ada program sertifikasi. Namun
di sisi lain, guru yang belum mendapatkan sertifikasi dan belum menjadi PNS
dari sisi gaji (upah) sangat jauh dari kelayakan. Ketidaksesuaian upah guru ini
juga bisa menjadi pintu munculnya permasalahan, meskipun hal tersebut tidak berkaitan
secara langsung.
Dunia pendidikan,
khususnya swasta sebagai sebuah aktivitas yang umumnya non profit memiliki
berbagai macam persoalan terkait etika usaha. Masih belum jelasnya status
lembaga pendidikan khususnya yang nun negeri sering kali diabaikan oleh
pemerintah terkait pendanaan dalam mendukung kegiatan pendidikan. Status negeri
dan non negeri ini sering menjadi masalah dalam praktek keseharian dunia
pendidikan. Sekolah non negeri dalam tahapan penerimaan siswa didik sudah
mendapat perlakuan berbeda, sehingga prakteknya sekolah tersebut sering kali
menerima peserta didik yang sudah tidak diterima di sekolah negeri. Hal
tersebut diakui ataupun tidak merupakan sebuah tantangan tersendiri karena
kebanyakan yang diterima sebagai siswa sekolah non negeri secara akademik di
bawah siswa yang diterima sekolah negeri.
Gagasan pendirian Lembaga Ombudsman
Swasta DIY (LOS DIY) diprakarsai oleh dunia usaha dan
kelompok masyarakat sipil untuk perbaikan tata kelola usaha sektor
swasta yang memenuhi prinsip good corporate governance di Yogyakarta. Prakarsa ini awalnya muncul dari
kalangan pengusaha kecil yang membentuk Small
Business Council dan berkembang menjadi Gatra Tri Batra yang konsen
melakukan kontrol publik terhadap praktek bisnis. Seiring dengan perkembangan bisnis saat ini maka pengawasan terhadap
praktek bisnis beretika berkelanjutan, termasuk dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang berkait dengan
kepentingan sektor swasta dan
berdampak luas bagi masyarakat, perlu dilakukan. Sehubungan dengan itu
perlu dibentuk sebuah instrumen yang efektif membantu dunia usaha dalam mewujudkan praktik tata kelola usaha yang
beretika berkelanjutan, sehingga mampu memberikan pelayanan, menjalani
proses produksi dan menghasilkan produk yang
melindungi publik konsumen dan sesuai dengan standar yang seharusnya. Seperti di banyak negara lain, Ombudsman Swasta
yang diharapkan dapat seperti lembaga Better Business Bureau,
merupakan lembaga yang dipercaya
publik, transparan dan dapat memenuhi tanggung gugat masyarakat dalam mengawasi tingkat kepatuhan dan kepatutan dalam
tata kelola usaha (bisnis) yang baik dan menjamin hak-hak konsumen.
Pada awal prakarsa pembentukan
Lembaga Ombudsman Swasta DIY, pembicaraan mengenai pemberantasan korupsi dalam
relasi dunia usaha dengan penyelenggara
pemerintahan ramai dibicarakan. Perkembangan berikutnya penegakan etika
dan perlindungan terhadap konsumen juga mengemuka. Demikianlah keberadaan Ombudsman Swasta di DIY akan sangat strategis
di tengah lemahnya pemenuhan hak dan kepentingan masyarakat dalam pelayanan publik di pemerintahan dan dunia usaha.
Diharapkan Ombudsman Swasta DIY, sebagai yang pertama di Indonesia,
dapat menjadi bagian penting dalam upaya perlindungan hak masyarakat dari
praktek bisnis yang tidak beretika dan berkelanjutan.
Untuk mewujudkan harapan di atas, maka Keputusan Nomor
135 Tahun 2004, Gubernur DIY telah membentuk Lembaga Ombudsman Swasta DIY (LOS DIY) yang efektif bekerja mulai tanggal 8 Juni
2005. Dan ketika masa tugas para anggota LOS DIY periode 2005–2008
berakhir, Gubernur DIY mengeluarkan
Peraturan Gubernur DIY Nomor 22 Tahun 2008 sebagai dasar hukum organisasi LOS DIY periode 2008 – 2011.
Adapun tujuan dibentuknya LOS DIY
adalah: 1) mendorong dan mewujudkan praktek usaha yang bersih dan bebas KKN, tindakan sewenang-wenang serta
kesadaran hukum masyarakat dan menjunjung tinggi supremasi hukum, 2) membantu
setiap warga masyarakat untuk
memperoleh pelayanan yang baik, berkualitas, profesional dan proporsional berdasar asas keadilan, kepastian
hukum dan persamaan, 3) memfasilitasi
dan memediasi untuk mendapatkan perlindungan hukum kepada setiap warga masyarakat untuk memperoleh
pelayanan yang baik, berkualitas, profesional dan proporsional dalam
praktek usaha, dan 4) mendorong terwujudnya etika usaha yang baik dan
berkelanjutan.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka LOS DIY diberikan
kewenangan: 1) menerima dan mengelola
pengaduan dan informasi dari para pihak berkaitan dengan penyimpangan
yang dilakukan oleh badan usaha dan atau usaha
informal, 2) mengklarifikasi bukti-bukti dan saksi-saksi yang terkait
dengan penyimpangan yang dilakukan oleh badan usaha dan atau usaha informal, 3) membuat rekomendasi berkaitan dengan
penyimpangan yang dilakukan oleh badan usaha dan atau usaha informal
yang menimbulkan keresahan/kerugian bagi
masyarakat berdasarkan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan, 4) memberikan rekomendasi kepada pihak pelapor
dan terlapor dalam rangka memfasilitasi penyelesaian masalah di antara para
pihak serta mendorong perbaikan tata kelola badan usaha dan atau usaha
informal, 5) mengumumkan hasil rekomendasi untuk diketahui masyarakat setelah
mendapat kepastian hukum.
LOS DIY pada periode
ketiga keanggotaan sejak 10 Januari 2012 sampai dengan 9 Januari 2015 (sebelum berakhir pada 10 Januari 2015 karena
digabung dengan LOD DIY menjadi LO DIY) telah menerima sembilan belas konsultasi
terkait dunia pendidikan swasta yang sembilan di antaranya dilanjutkan menjadi
sebuah laporan. Hal ini karena tidak semua konsultasi dilanjutkan menjadi
sebuah laporan bilamana sudah ditemukan solusi sesuai arahan dari LOS DIY. Sesuai
dengan amanat yang diberikan LOS DIY menangani kasus yang terjadi di sekolah
swasta di bawah yayasan swasta di wilayah DIY. Kasus yang menjadi laporan di antaranya
disebabkan adanya masalah antara; (1) Pegawai (Guru dan Karyawan) sekolah
dengan manajemen (kepala) sekolah, (2) orang tua calon siswa dengan sekolah,
(3) Orang tua (dan siswa) dengan sekolah, dan lain-lain. Secara umum yang
menjadi persoalan dapat dibagi dua yaitu: (a) masalah layanan sekolah kepada
siswa/guru dan (b) transparansi manajemen lembaga
atau yayasan khususnya dalam keuangan.
Permasalahan guru swasta, khususnya terkait kesejahteraannya, selalu menjadi perbincangan yang menarik
sekaligus memprihatinkan dari tahun ke tahun. Yang banyak menjadi perbincangan
adalah kesenjangan gaji guru PNS dengan gaji guru swasta. Ada beberapa insentif
yang diberikan pemerintah kepada guru swasta, antara lain tunjangan sertifikasi
dan tunjangan fungsional. Akan tetapi pelaksanaannya sering dipersulit.
Contohnya, ketika mau ikut sertifikasi maka persyaratannya semakin ketat dari
tahun ke tahun sehingga banyak yang gagal ikut sertifikasi. Setelah lulus
sertifikasi, pencairan dananya sering terlambat sampai berbulan-bulan dan tidak
ada penjelasan terkait dengan keterlambatan tersebut. Ada permasalahan lain
terkait dengan tunjangan sertifikasi yaitu tidak semua guru dapat mengajar 24
jam seminggu karena setiap sekolah mempunyai kuota mengajar yang berbeda-beda
tergantung jumlah kelasnya dan jenis mata pelajarannya. Hal ini di banyak
sekolah menjadi masalah karena ada persaingan untuk mendapatkan jam mengajar
sesuai ketentuan sertifikasi, sehingga terkadang menimbulkan hubungan yang
kurang baik antar guru.
Ada permasalahan lain
lagi, ketika yayasan yang menaungi guru swasta tidak begitu empati terhadap kesejahteraan
guru yayasan. Umumnya guru yayasan tidak mempunyai posisi tawar ketika guru
diberikan gaji yang jauh dari UMP karena biasanya yang ditekankan adalah
pengabdian (bahkan terkadang memakai simbol agama untuk itu). Yang terjadi
adalah keterpaksaan dari guru yayasan untuk terus mengajar tanpa tahu kapan
gaji akan meningkat, kesejahteraan akan lebih baik. Akhirnya guru swasta
mencari penghasilan lain selain mengajar sehingga kurang optimal dalam proses
belajar mengajar. Dalam hal pengelolaan sekolah, pihak yayasan seharusnya lebih
terbuka atau transparan kepada guru yayasan sehingga manakala keadaan keuangan
yayasan menurun maka guru yayasan juga bisa memahami begitu juga sebaliknya,
ketika kondisi keuangan yayasan berlebih tentunya ada penghargaan untuk guru
yayasan. Apalagi sekarang ada Dana BOS yang diberikan untuk SD dan SMP dan
sekolah yang sederajat yang seharusnya berdampak pada peningkatan kesejahteraan
guru swasta.
Sebenarnya kalau
berbicara secara konstitusi, pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, akan
tetapi berbicara pengelolaan sekolah tentunya akan sedikit berbeda antara
sekolah negeri dan sekolah swasta. Sekolah negeri langsung di bawah dinas
terkait, sedangkan sekolah swasta otoritas pengelolaan sekolah secara langsung
berada di bawah yayasan. Melihat pola hubungan sekolah swasta, yayasan dan dinas
terkait, tentunya berimplikasi pada hubungan ketiga pihak tersebut dengan guru
swasta. Ada yang melihat diskriminasi yang diterapkan pemerintah antara guru
PNS dan guru swasta/non PNS.
Dinas pendidikan
mewakili pemerintah mengatakan bahwa guru swasta menjadi tanggungjawab yayasan
akan tetapi pemerintah tetap membantu guru swasta dengan adanya tunjangan
sertifikasi dan tunjangan fungsional. Pertanyaannya apakah cara mengajarnya
atau bobot materi yang diajarkan antara guru swasta dan guru negeri berbeda, sehingga
tidak ada standar upah minimum dari guru swasta dan dinas pendidikan
menyerahkan sepenuhnya kepada yayasan terkait dengan upah yang harus diterima
guru swasta. Di sisi lain, tunjangan sertifikasi diberikan kepada guru negeri
dan guru swasta. Sedangkan tunjangan fungsional hanya Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah)
per bulan dan itu pun terkadang diberikan secara rapel 3 (tiga) atau 6 (enam) bulan kemudian. Dari beberapa
problematika yang ada, maka perlu kesepahaman baik guru swasta, yayasan dan
pemerintah untuk mencari solusi perbaikan kesejahteraan guru swasta. Hal
tersebut tentu didasari semangat perbaikan mutu pendidikan yang lebih baik
lagi.
Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya Kota
Yogyakarta dikenal dengan sebutan kota pelajar, banyak sekolah negeri dan
swasta berkualitas di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Namun demikian beberapa
sekolah, khususnya sekolah swasta di Kota Yogyakarta pernah di adukan ke LOS DIY
dengan alasan adanya kebijakan sekolah atau Yayasan yang merugikan masyarakat
sebagai murid maupun orang tua siswa. Di
samping
itu juga ada keputusan kepala sekolah yang merugikan guru/karyawan.
Saat ini penyelenggaraan sekolah
swasta (khususnya Yogyakarta) tidak begitu menyenangkan, bahkan ada yang
mengungkapkan rasa sedih saat pemerintah menjalankan kebijakan sekolah gratis.
Bagaimana bisa senang kalau calon siswanya banyak tersedot ke sekolah negeri
sehingga banyak sekolah swasta terancam gulung tikar karena kekurangan siswa.
Apalagi kebijakan sistem penerimaan siswa dengan Real Time Online di Yogyakarta membuat
sekolah swasta kebanyakan mendapatkan siswa yang secara akademik di bawah
rata-rata (namun ada juga sekolah swasta favorit). Bahkan muncul anekdot
sekolah swasta di (Kota) Yogyakarta kebanyakan menampung siswa yang secara
akademik di bawah rata-rata sekaligus secara ekonomi juga kurang. Hal ini
menjadi bibit permasalahan yang jika tidak segera diantisipasi dapat menjadi
bom waktu.
Keadaan itu benar-benar terjadi dan
dirasakan para penyelenggara sekolah swasta. Mengelola peserta didik yang
secara akademik kurang, sekaligus juga secara ekonomi kurang jauh lebih sulit
dibandingkan siswa di sekolah negeri yang secara akademik di atas rata-rata dan
biasanya secara ekonomi orang tuanya pun lebih baik. Biaya operasional sekolah
meskipun sudah mendapatkan bantuan dana BOS juga tidak sepenuhnya bisa
diandalkan.
Ternyata tidak semua warga negara berorientasi pada mutu (quality
orientation), tetapi pada ekonomi (economical orientation). Hal
terakhir ini banyak terjadi dan hinggap pada masyarakat miskin, rakyat bawah,
atau kaum dhuafa http://suaraguru.wordpress.com/2009/07/28/pembunuhan-sekolah-swasta/. Itu sebabnya saat mendengar pemerintah menyediakan sekolah
gratis —notabene sebenarnya hanya berlaku pada sekolah negeri— masyarakat
”menyerbu” sekolah yang tidak membayar dengan meninggalkan sekolah swasta yang
harus membayar. Alhasil sekolah swasta kekurangan siswa, dan jika
kekurangan siswa akan menjadi sulit bagi pengelola untuk mempertahankan
keberadaannya. Jika kebijakan sekolah gratis itu dipertahankan, dalam beberapa
tahun ke depan akan banyak sekolah swasta tutup buku.
Profesionalitas kerja guru di
sekolah swasta sebenarnya tidak kalah dibanding dengan guru di sekolah negeri,
bahkan bisa jadi lebih baik. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa banyak sekolah swasta yang tidak mampu menjamin kesejahteraan guru (Non Pegawai
Negeri Sipil) dan karyawannya, sehingga sangat dimungkinkan guru di sekolah swasta
yang memiliki profesi lain yang bisa jadi sangat berbeda dengan statusnya
sebagai pengajar http://jogja.tribunnews.com/2014/05/24/guru-nyambi-tukang-pijit dan http://yogyakarta.loveindonesia.com/news/id/news/detail/278898/guru-honorer-terpaksa-nyambi-jadi-juru-parkir.
Pekerjaan bagus untuk menerbitkan artikel yang bagus. Artikel Anda tidak hanya bermanfaat tetapi juga sangat informatif. Terima kasih karena Anda bersedia berbagi informasi dengan kami. Sekolah Menengah Jakarta
BalasHapus