Berkunjung pertama kali ke kota
ini beberapa waktu yang lalu. Bandara Hasanuddin terletak di luar kota, lebih
tepatnya di Kabupaten Maros. Untuk menuju ke Makassar di tempuh sekitar satu
jam menggunakan taksi maupun ojek online yang tersedia secara tertutup di
bandara. Jalan tolnya mulus seperti umumnya di Jawa. Sesampai di hotel dan
menaruh barang, teman-teman langsung mengajak jalan ke pulau Samalona, sebuah
pulau kecil di tengah laut. Untuk menuju ke sana dapat ditempuh dengan perahu
sewa dari pelabuhan Popsa, demikian masyarakat menyebutnya. Sewa perahu durasi
tiga jam dengan isi empat sampai enam orang sekitar empat ratus ribu. Perjalanan ke
pulau tersebut sekitar setengah jam yang menawarkan pemandangan laut dan
langit yang membiru, sangatlah indah.
Sesampainya di sana, pasir putih
menyambut dengan hangat kala senja tiba. Beberapa warga lokal mengampiri,
menawarkan alat selam dan baju renang dengan harga terjangkau. Memang untuk
menikmati keindahan tempat ini, dengan merasakan langsung menyelam di laut.
Dengan ombak yang tenang dan pantai yang landai, cocok untuk berenang dan
menyelam di sore hari. Pulau ini tidak terlalu luas, cukup sekitar setengah jam
mengelilinginya. Tersedia juga beberapa penginapan dengan harga kisaran seratus
ribu per malam.
Selepas dari Samalona, perahu menuju Gusung Laelae Caddi, untuk mengelilingi sebentar karena malam telah tiba. Setibanya di pelabuhan, perut lapar terasa langsung menemukan penawarnya, tak jauh dari pelabuhan Popsa. Ragam pilihan menu ikan dan masakan khas Makassar/Bugis tersedia. Menu ikan merupakan menu andalan, cocok untuk makan malam.
Objek lain yang saya kunjungi di kota pelabuhan ini adalah benteng Port Rotterdam, yang juga tak jauh dari pantai. Benteng ini
merupakan bangunan VOC/Hindia Belanda pada masa dahulu, untuk mengamankan jalur
perdagangan rempah-rempah dari kepulauan Maluku menuju Batavia dan selanjutnya
ke negara Eropa. Benteng ini masih megah berdiri, dengan tembok nan tebal, dan
juga bangunan perkantoran didalamnya. Ada salah satu sudut istimewa di sini,
yang dulu merupakan ruang tahanan Pangeran Diponegoro saat diasingkan hingga
akhir hayatnya. Sayangnya kita tidak bisa masuk ke dalam, karna petugas jaganya
kebetulan tidak ada. Benteng ini sekarang selain menjadi sebuah living museum,
juga menjadi tempat menyimpan berbagai koleksi penanda jaman pada saat itu.
Ragam hasil budaya masyarakat Bugis, Bone dan sekitarnya tersimpan rapi
dalamnya.
Museum La Galigo yang terletak
dalam kompleks benteng ini terdiri atas dua lantai, dan sudah tertata secara
rapi koleksinya. Seolah kita mengikuti mesin waktu menuju pada jaman kerajaan
dan kolonial pada masa itu.
Halaman tengah benteng ini pada sore hari sering digunakan sebagai tempat berkumpul masyarakat sekitar untuk menikmati senja hingga malam tiba, sangat cocok untuk bersantai bersama keluarga, teman sekolah, maupun mahasiswa yang membuka lapak perpustakaan keliling.
Halaman tengah benteng ini pada sore hari sering digunakan sebagai tempat berkumpul masyarakat sekitar untuk menikmati senja hingga malam tiba, sangat cocok untuk bersantai bersama keluarga, teman sekolah, maupun mahasiswa yang membuka lapak perpustakaan keliling.
Selain benteng, Makassar juga memiliki Museum Kota Makassar yang tidak jauh dari kantor walikota Makassar. Berisi koleksi yang menceritakan perkembangan kota Makassar dan walikota yang pernah memimpin kota angin ini. Koleksinya cukup banyak, baju dan kain khas suku bugis tertata dengan apik, demikian juga penanda perkembangan kota. Meskipun demikian, museum ini menurut saya agak sepi, mungkin karna terlalu pagi pada saat ke sana. J
![]() |
Kain Khas Makassar |
Komentar
Posting Komentar